Latest Post

 

Panen: Indra Fitri, petani cabai di Kelurahan Kalumbuk Kuranji Padang memperlihatkan hasil panen cabainya Sabtu (15/11). 


Menanam cabai sama dengan menaman harapan bagi petani. Cabai ditanam, emas dipanen. Ya, berharap harga cabai mahal saat panen dan bisa dibelikan emas. Itu kalau harga cabai mencapai Rp 100 ribu sekilo. Sekali panen bisa beli beberapa gram emas murni.

Saat tetes embun mulai mengering diterpa sinar mentari pagi, Indra Firti, 50, melangkah ke ladang cabai depan rumahnya. Buah cabai matang merah merona bak gincu wanita seakan tak sabar untuk dipetik. Membuat ibu-ibu ngiler karena harga cabai masih mahal.
Ketika panen Sabtu (15/11), harga cabai berkisar Rp 55 ribu sampai Rp 65 ribu per kilogram di pasaran.
Harga yang cukup membahagiakan bagi petani. Saking senang, hanya dalam hitungan menit, ember Indra telah terisi penuh buah cabai.
Ia beranjak ke pondok kecil pinggir ladang, lalu menuang isi ember.
Untuk memanen cabai ia dibantu istri dan keluarga dekat. Dalam 1 jam saja tiga petak ladang cabai selesai dipanen.
Hasilnya?
"Alhamdulillah, ada 30 kilogram panen hari ini,” kata Indra melepas lelah usai panen.
Sambil bersandar ke tiang pondok, ia menghisap sebatang rokok lalu mengembuskan asap perlahan. Keringat bercucuran di dahinya. Lelah pasti, tapi begitulah bertani.
Indra bercerita, kali ini adalah panen kelima. Hampir puncak masa panen. Lumayan meningkat dari sebelumnya yang hanya Rp 15 kilogram.

“Berapapun hasilnya disyukuri saja, yang penting kita telah berusaha. Rezeki Allah yang menentukan,” ucapnya.
Hasil panen tidak dijual ke pasar. Tapi pembeli langsung datang ke ladang. Yang beli ada tetangga, sanak saudara hingga teman-teman di sosial media.
“Setelah hasil panen terkumpul, biasanya istri saya posting di grub WA, tak lama banyak yang order dan datang menjemput,” tutur Indra.
Pembeli senang selain dapat cabai segar harga juga di bawah harga pasar. Kalau di pasar Rp 55 ribu per kilogram, maka di ladang Rp 53 ribu saja per kilogramnya. Timbangan juga dilebihkan. Kalau bersisa atau sedikit yang beli biasa dititip sama saudaranya yang punya kedai sembako.

Menurut Indra ia eksis menanam cabai karena permintaan yang selalu meningkat di pasaran. Harga cabai  cenderung stabil. Kalaupun turun, sebentar naik lagi.
Walau bertanam cabai itu tak semudah menanam terung, tapi Indra tak pernah patah semangat. Sering gagal, bibit tak tumbuh baik, gagal panen, ia tak pernah menyerah.

“Kadang istri saya protes, sudah habis banyak modal, eh malah gagal panen. Jelas rugi. Tapi saya tetap coba lagi, belajar dari kegagalan. Ganti bibit, ubah pola dan jenis pupuk serta obat pembasmi hama. Alhamdulillah berhasil lagi,” tuturnya.

Modal untuk betanam cabai tidaklah murah. Butuh perawatan eksrta. Untuk tiga petak ladang sekitar 1.000 meter persegi, Indra sudah menghabiskan uang sekitar Rp 5 jurta. Mulai beli bibit, pupuk dan obat pembasmi hama. Belum masuk upah garap lahan dan beli mulsa penutup petak ladang dari tumbuhnya gulma.

“Modalnya memang banyak karena butuh banyak pupuk dan obat pembasmi hama,” jelasnya.

Tanaman cabai juga gampang terpengaruh cuaca. Kalau banyak hujan buahnya akan busuk. Musim kemarau jadi meranggas. Harus disiram tiap hari agar tak mati. Salah perawatan atau kurang pupuk daunnya keriting dan tak berbuah.
Tapi kalau panen berhasil modal bisa kembali. Sebagian uang disimpan atau dibelikan emas untuk modal musim tanam berikutnya.

Pupuk Turun
Tananam cabai selain rewel, banyak pantangan juga doyan makan alias banyak makan pupuk. Butuh beragam pupuk, mulai bibit cabai disemai hingga dipindahkan ke petak-petak ladang sampai berbuah dan dipanen.
Indra memakai pupuk kristal dan pupuk cair. Antara lain Ponska, Kcl, NPK Mutiara dan lainnya. Menurutnya, pupuk-pupuk tersebut berfungsi untuk pertumbuhan batang dan buah. Pemupukan dan penyemproran hama minimal 1 x 4 hari.
Saat ini, harga pupuk turun. Indra bisa bernapas lega. Berkurang biaya untuk beli pupuk.
“Lumayan banyak turun harganya. Sebelumnya 1 karung berat 50 kg harganya Rp 150 ribu sekarang turun jadi Rp 90 ribu,” ujarnya.

Indra bersyukur, pemerintah sekarang propetani dengan menurunkan harga pupuk. Karena kesulitan petani selama ini mahalnya harga pupuk. “Sudahlah mahal, langka lagi,” tutur pria berambut lurus itu.
Ia berharap pemerintah terus membuat kebijakan yang menguntungkan petani.

“Kalau dapat semua jenis pupuk diturunkan harganya dan permanen. Termasuk obat pembasmi hama,” harapnya.

Indra juga merasa terbantu karena sekarang sudah banyak alat pertanian modern seperti mesin bajak lahan mesin panen padi. Bisa menghemat waktu, tenaga dan biaya.

Bertani untuk Hidup
Sebelum jadi petani, Indra jadi tukang bangunan. Menerima upah mingguan. Tapi karena usia mulai menua tenaga berkurang. Badan mulai sakit-sakitan. Lalu ia banting stir jadi petani. Untungnya ada lahan sendiri milik keluarga istri.
Selain bertanam padi, ia belajar otodidak menanam cabai.
“Saya belajar sendiri, tanya sama petani yang sudah berpengalaman dan searching di internet. Pokoknya berani mencoba dan tak pasrah kalau gagal,” ucapnya.
Belakamgan Indra juga menambah aeral tanaman cabainya.

“Ada juga tiga petak yang mau ditanam, diperkirakan panen saat momen Idul Fitri nanti. Biasanya saat hari raya harga cabai mahal,” ucapnya.

Bertanam cabai secara estafet, penghasilan Indra terus nyambung. Ia pun tidak pernah nganggur.
Namun yang pasti, dengan bertani ia tidak akan kelaparan. Minimal cabai dan beras tidak beli karena ia juga menanam padi.
Di petak ladang ia juga menanam sayur dan bumbu dapur . Ada kacang panjang, terung, daun singkong, kangkung, pucuk ubi jalar, oyong, pare hingga kunyit, jahe dan lainnya. Semua itu untuk konsumsi sendiri. Karena ditanam sedikit di ujung petak ladang.

“Selagi kita rajin menanam, kita tidak akan kekurangan bahan masakan,” ucapnya.

Indra menjalani filosofi hidup sederhana saja. Bertani untuk kelangsungan hidup. Bisa makan tiga kali sehari dan tidur nyenyak itu sudah cukup.  Walau di luar sana orang berlomba-lomba menumpuk harta, ia santai saja. Baginya kalau sudah rezeki tidak akan lari ke mana.  (yan) 

Keripik: Yarni, menawarkan keripik singkong dagangannya kepada pengunjung Pasar Bandaaie Pasie Nantigo, Kecamatan Kototangah, Padang, Minggu (9/11).

Padang, Beritaone--Di tengah hiruk pikuk pasar, penjual keripik singkong berusaha menarik perhatian pembeli.  Dagangannya ia tarok dalam baskom di pinggir jalan dalam pasar. Penyuka keripik singkong pasti tergoda untuk membeli. Penjual, Yarni, 45, ramah menawarkan dagangannya kepada semua orang yang lalu lalang.

“Belilah Buk, keripiknya enak, renyah dari Kasang,” rayunya di  Pasar Bandaaie Pasie Nantigo, Kecamatan Kototangah, Padang, Minggu (9/11).   Tak banyak yang tahu bahwa keripik singkong yang  singkongnya asal Kasang Kabupaten Padangpariaman terkenal enak, renyah dan tidak keras. Keripik balado oleh-oleh khas Padang yang dijual di pusat oleh-oleh di Kota Padang umumnya memakai singkong asal daerah tersebut.

Kripik singkong beda tipis dengan kripik balado. Bedanya terletak pada pengolahan dan pemberian bumbu. Kripik balado bumbunya cenderung manis karena diberi gula. Tapi kripik singkong yang dijual Yarni, cabainya tidak pakai gula, jadi terasa pedas gurih dan original.

 Walau dijual di pasar tradisional dan dijajakan kelilling kampung, namun keripiknya enak dan renyah. Ia menjual tiga jenis keripik singkong, yakni rasa original, balado dan keripik ubi kayu serundeng.

“Saya jualan di Pasar Bandaaie ini, rutin Sabtu-Minggu, kadang-kadang juga hari Rabu,” tutur Yarni, sambil menyodorkan taster keripik singkong  balado.

Sebungkus kira-kira berat ½ kilogram harganya Rp 10 ribu saja. Kalau beli dua dapat diskon Rp 2 ribu. Jika sudah langgananan Yarni kasih harga spesial 2 bungkus Rp 15 ribu. Kalau lagi ramai, keripik singkongnya bisa laku 50 bungkus sehari. Sebagian stok ia titip di warung. Habis di karung ia akan ambil yang di warung.

“Saya jualan keliling sampai ke Padang. Ke sekolah-sekolah. Alhamdulillah banyak guru-guru yang beli,” tuturnya.

Yarni mengaku mulai berjualan keripik keliling baru tiga bulan, habis lahiran. Karena duit lagi sulit sementara kebutuhan rumah tangga terus meningkat, ia inisiatif untuk mencari nafkah.

“Keripik ini saya ambil dari orang lain. Bukan saya yang bikin.  Dapat persenan dari setiap bungkus yang terjual,” ujarnya. Yarni mengaku penghasilannya setiap berjualan tak menentu.  

“Kadang dapat Rp 100 ribu, lumayanlah,” akunya. (yan)

 


 


 Murah: Penjual jengkol dan petani di Pasar Bandaaie, Pasia Nantigo Kecamatan Kototangah, Padang.


Padang, Beritaone—Penyuka jengkol dan petai bisa tersenyum. Dapat memborong sepuasnya bila ke pasar. Saat ini harga dua makanan pencampur lauk dan palamak makan tersebut lagi murah karena sedang musim. Harga jengkol beberapa waktu lalu menyentuh Rp 12 ribu per 10 butir, sekarang 40 butir hanya dihargai Rp 10 ribu. Untuk kualitas bagus 30 butir Rp 10 ribu. Sedangkan petani juga turun, Rp 1.000- Rp 1.500 per papan. Seikat Rp 10 ribu sampai Rp 15 ribu.

Di pasar-pasar tradisional sampai warung sembako banyak ditemui petani dan jengkol. Salah satunya di Pasar Bandaaie, Pasie Nantigo Kecamatan Kototangah Padang. Mulai masuk pasar hingga ke kios ikan di pinggir pantai, banyak penjual jengkol dan petani. Petainya bernas, kalau orang Jawa bilang melotot saking bulat dan besar bijinya.

Jengkol yang dijualpun segar-segar habis dipanen. Bukan seperti biasanya banyak yang sudah tua, layu atau kurang bagus kualitasnya. Penyuka jengkol jelas ngiler dan beli banyak mumpung murah.

Neli, penjual jengkol di Pasar Bandaaie mengatakan, kalau lagi musim jengkol memang murah harganya. Ia menyebut jengkol yang dijual di pasar tersebut berasal dari Padangpariaman.

“Ini jengkol Pariaman. Lagi banyak keluar sekarang,” ujarnya. 

Minggu (9/11), ia membawa tiga karung jengol ke pasar tersebut. Belum pukul 11.00 siang sudah hampir ludes. “Saya jual murah saja. Paling murah 40 butir Rp 10 ribu,” ujarnya.

Ujeng, penjual petai juga kebanjiran pembeli. Ia menjual petani seikat Rp 15 ribu isi 10 papan petai. Kelihatannya bernas dan kulitnya tipis. Kata Ujeng petai Lubukminturun yang terkenal enak dan manis serta kulitnya tipis. Ada juga jenis petai beras, bijiya agak kecil-kecil.

Banyak pengunjung pasar terlihat menenteng kantong plastik belanjaan berisi jengkol dan juga petai.

“Mumpung lagi murah saya beli jengkol 100 butir dan petani 3 ikat,” kata Rani, seorang pembeli. (yan)

 


 Masih Mahal: Cabai merah hasil panen petani di Kuranji Padang siap dijual kepada konsumen.


Padang—Bulan Oktober, Sumbar kembali mengalami inflasi. Kenaikan harga cabai merah dan emas perhiasan pada  memicu inflasi Sumbar pada Oktober 2025. Di mana indeks Harga konsumen (IHK) Sumbar pada Oktober mencatatkan inflasi 0,45 persen (month to month/mtm).

Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sumatera Barat Mohamad Abdul Majid Ikram mengatakan, perkembangan inflasi pada Oktober 2025 dipengaruhi oleh peningkatan harga cabai merah dan emas perhiasan.

“Kenaikan harga cabai merah ini karena terbatasnya produksi lokal serta kelangkaan pasokan dari luar provinsi. Sementara itu, peningkatan harga emas perhiasan sejalan dengan penguatan harga emas acuan global. Di sisi lain, laju inflasi yang lebih tinggi dapat tertahan oleh penurunan hargabeberapa komoditas pangan, khususnyabawang merah,” ujarnya.

Majid memaparkan, kelompok makanan, minuman, dan tembakau mencatatkan inflasi 0,47 persen (mtm) dengan andil inflasi 0,16 persen (mtm). Harga cabai merah yang naik hingga 21,76 persen menjadi pemicu meningkatnya inflasi pada kelompok ini, disusul ikan cakalang dan daging ayam ras.

Sementara itu, laju inflasi lebih tinggi dapat tertahan dengan penurunan harga beberapa komoditas pangan, khususnya bawang merah. Membaiknya produksi lokal serta stabilnya pasokan dari sentra nasional membuat harga bawang merah turun 20,58 persen (mtm).

Kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya mengalami inflasi sebesar 3,98 persen (mtm), dengan andil 0,21 persen (mtm). Kenaikan didorong oleh peningkatan harga emas perhiasan sebesar 13,99 persen (mtm) sejalan penguatan harga emas global.

Majid melanjutkan, kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar juga mendorong inflasi dengan andil 0,03 persen (mtm). Kondisi itu didorong oleh peningnkatan biaya sewa rumah, sejalan dengan berjalannya tahun akademik baru, terutama di perguruan tinggi swasta.

Secara spasial hampir seluruh kabupaten/ kota IHK di Sumatera Barat mengalami inflasi kecuali Kabupaten Dharmasraya. Kota Padang mencatatkan inflasi tertinggi yaitu 0,52 persen (mtm), Kabupaten Pasaman Barat 0,41 persen (mtm), Kota Bukittinggi 0,16 persen. Sementara Kabupaten Dharmasraya mengalami deflasi 0,20 persen (mtm).

“Secara kumulatif, perkembangan harga di Sumatera Barat hingga Oktober 2025 adalah sebesar 3,87 persen (year to date/ytd), melampaui batas atas sasaran inflasi 2,5±1 persen,” ujarnya.

Untuk menekan inflasi, Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Sumatera Barat perlu penguatan strategi stabilisasi harga pangan agar tetap terkendali dan berada dalam rentang sasaran.

Menurut Majid, TPID perlu menjaga kecukupan pasokan di masing-masing daerah, salah satunya dengan memmperkuat kerja sama antar daerah. Kemudian, melakukan intensifikasi gerakan pangan murah (GPM) di lokasi yang tepat sasaran dengan menjual komoditas pemicu inflasi, terutama cabai merah.

Kemudian, memperkuat komunikasi public yang efektif melalui penyebaran informasi jadwal pasar murah (GPM) se-Sumatera Barat melalui berbagai media, baik media massa maupun media sosial. Perlu juga memperkuat koordinasi pengendalian inflasi antar instansi melalui rapat TPID yang lebih intensif di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota.

“Dengan sinergi berbagai pihak yang terus diperkuat, TPID Sumatera Barat optimistis program pengendalian inflasi pangan akan berjalan efektif. Komitmen ini terus dijaga untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam rentang 2,5±1 persen (yoy) pada keseluruhan tahun 2025,” tutupnya. (yan)

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
IKLAN