Rojali dan Rohana juga Ada di Padang

 
Tren: Suasana Basko City Mal Padang cukup ramai pengunjung beberapa waktu lalu.
 

Suatu hari di akhir pekan, rombongan ibu-ibu memasuki sebuah mal baru di Padang. Berdandan bak anak muda. Pun, kelakuannya. Ceria dan ketawa-ketiwi sembari bercanda layaknya remaja. Tujuan pertama mereka, gerai pakaian. Lihat-lihat model, lalu tengok label harga. Dahi berkerut. Tak lama keluar dengan wajah cemberut.
Lanjut ke toko kosmetik. Muka ceria melihat aneka barang yang dipajang. Apalagi ada tester lipstik. Coba beberapa warna sembari senyum-senyum di cermin. Setelah liat harga diam saja.  “Ah, gak jadi beli, mahal,” ucap salah satu dari mereka, pelan.  Terus ke rak parfum. Lagi cobain tester. Pilih yang paling mahal, biar awet wanginya. “Harga kurang cocok di kantong kita,” bisik yang lain.
 
Setelah sekadar nanya-nanya ke pramuniaga yang cantik, wangi dan ramah, lantas ngeloyor keluar. Masih mengitari sampai ke lantai III mal. Apa saja yang ada di sana. Setelah penat, istirahat sebentar di bangku-bangku yang disediakan pengelola mal di beberapa spot. Belanja juga akhirnya. Tapi hanya 1 cup minuman untuk melepas dahaga. Itu pun pilih harga yang paling murah. Ya, begitulah “gaya hidup” kalangan menengah ke bawah.  Mereka hanya jalan-jalan saja ke mal sembari cuci mata dan lihat-lihat harga barang. Bosan di rumah terus. Walau tak punya uang tetap butuh hiburan dan kumpul sama teman.
 
Beranjak ke food court mal di bagian depan. Ternyata ramai. Hampir semua gerai kuliner kekinian tempat duduknya penuh. Walau harga di sini standar mal, ternyata tetap diminati. Mungkin mereka kalangan menengah ke atas. Uang jajan anaknya Rp 50 ribu ke atas sehari. Sehingga bisa nongkrong di resto mal berkelas. Terlihat juga rombongan keluarga, sosialita dan pekerja kantoran. Lahap menyantap makanan dan menyeruput minuman. Seperti tak ada beban.
Riri Rahmi, 40, perantau Minang di Jakarta menyempatkan diri menjajal mal di kampung halaman bersama suami dan anaknya. Kalau di Jakarta hampir tiap weekend keluarga kecilnya refresing ke mal sekalian kulineran. Mereka terbiasa makan di food court mal seperti warga Jakarta lainnya. “Kalau untuk belanja baju dan lainnya mending beli online, lebih murah,” ucapnya.                  
 
General Manager Basko City Mall, Robi Wiryawan mengatakan,  tren kunjungan ke mal memang dominan untuk makan, yakni 30 persen. Lalu, sebesar 25 persen cuci mata, 25 persen main bersama keluarga, dan hanya 20 persen yang belanja.  
Tren ke mal akhir-akhir ini sedikit bergeser. Tidak lagi untuk shopping. Tapi lebih untuk cuci mata, cek harga dan nanya-nanya saja. Sehingga muncul istilah Rojali (rombongan jarang beli dan Rohana (rombongan hanya nanya). Mal dijadikan tempat untuk rekreasi, melepas penat sembari cuci mata. Mal berfungsi untuk bersosialisasi, berinteraksi dan mencari kebahagiaan sesaat. Baik bersama teman maupun keluarga.
 
Rojali cenderung hanya berjalan-jalan, menikmati suasana, atau sekadar nongkrong, sedangkan Rohana lebih banyak bertanya-tanya tentang harga atau produk tapi akhirnya tidak jadi membeli. Fenomena ini mencerminkan tren perubahan perilaku konsumen di tengah tantangan ekonomi. Di kota-kota besar yang kekurangan taman kota, perpustakaan publik, atau pusat komunitas, mal mengisi kekosongan ini. Mal memiliki atribut yang sangat dibutuhkan: tempat yang aman, bersih, ber-AC, bebas polusi, dan dapat diakses kapan saja, tanpa biaya masuk.
 
Mal-mal di Jakarta dan kota besar lainnya sudah terbiasa dengan fenomena ini. Sejak ekonomi lesu, daya beli masyarakat juga jadi lesu. Untuk belanja fashion orang jadi mikir dua kali. Kalau tidak mendesak mengerem dulu untuk beli baju atau sepatu. Lebih baik uangnya ditabung. Menahan berfoya-foya di tengah kondisi ekonomi tidak menentu.
Pengelola mal pun sepertinya memahami kondisi. Tetap menyediakan fasilitas nyaman dan tempat duduk agar mal tetap ramai. Termasuk spot hiburan yang bisa diisi band-band lokal. Harus mengubah konsep mal sesuai perubahan gaya hidup dan kondisi kekikian.
Sedangkan penyewa gerai atau toko di mal menjadikan toko offline untuk memajang barang fisik. Mereka juga jualan online di marketplace agar tetap eksis.
 
Hanya saja, jika kondisi ini terus berlanjut karena banyak rojali dan rohana menandakan ekonomi tak bangkit-bangkit. Kesenjangan makin menganga. Yang kaya saja leluasa belanja. Si miskin bisa menelan ludah saja.
Harusnya pemerintah lebih arif dan bijaksana menyikapi kondisi yang ada.
Mereka yang berpenghasilan rendah umumnya bekerja di sektor informal, buruh dan pekerja swasta. Gaji hanya cukup buat makan. Kenaikan harga barang dan jasa makin membuat mereka tak berdaya. Wajar buruh demo menuntutkesejahteraan. Jangankan sejahtera, lepas dari segala pajak saja sudah lega rasanya. Sementara, DPR malah menaikkan gaji seenaknya. Pajak naik gila-gilaan pula. Di mana hati nurani mereka? (yan)
 
 
 
 

 

Labels:

Posting Komentar

[blogger]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
IKLAN