Lezat: Lemang yang dimasak dalam bambu enak dimakan dengan buah durian.
Malamang salah satu tradisi di Ranah Minang tiap hari baik bulan baik. Kalau orang Padang zaman dulu, malamang jelang masuk Ramadhan, menyambut Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha dan Maulid Nabi. Nah, apakah di zaman serba instan sekarang, malamang masih dilestarikan rang Padang?
Asap mengepul di rumah Efri, 48, warga Kuranji. Bukan kebakaran. Asap tersebut berasal dari api untuk memasak lemang. Dari dekat bau harum lemang pulut berpadu santan kelapa menggugah selera. Lemang yang dimasak dalam bambu itu terlihat hampir matang. Santan putih terlihat mendidih di bagian atas bambu lemang yang disandarkan pada sepotong kayu di perapian depan rumah wanita itu.
“Sebentar lagi lemangnya masak. Kalau santannya sudah kering itu tandanya sudah matang,” kata ibu dua anak itu.
Bagi Efri, malamang sekaligus melestarikan tradisi. Kepandaian malamang yang didapatkan turun-temurun dari orangtuanya juga ia wariskan kepada anak-anaknya. “Malamang itu gampang-gampang susah. Kalau paduan bahannya serta cara masak tidak pas, rasanya kurang lezat,” tuturnya.
Memang tidak semua orang pandai memasak lemang. Apalagi di zaman sekarang. Wanita masa kini apalagi wanita karir banyak yang enggan memasak. Apalagi kalau memasak lemang yang ribet dan butuh waktu lama. Jangankan membuat lemang, kadang memasak untuk menu sehari-hari juga beli.
Efri, meski juga wanita bekerja mengaku tidak suka makanan yang dibeli apalagi makanan siap saji. “Saya lebih suka memasak sendiri. Jelas bahan dan resep serta takarannnya,” ujarnya.
Untuk membuat lemang sendiri, kata Efri, butuh waktu dua hari. Hari pertama mencari bambu lemang dan memotong-motongnya. Lalu memetik daun pisang muda untuk lapisan lemang. Beras pulut dan kelapa juga disiapkan sebelumnya. Pada hari kedua, pagi-pagi sekali barulah merendam dan mencuci beras pulut. Kemudian memarut dan memeras santan kelapa. Kelapa harus yang agak tua agar lemangnya berminyak. Santan juga harus santan kental agar lemangnya gurih. Dia punya trik tersendiri agar lemangnya terasa lebih lembut dan tak basi walau sudah berhari-hari. “Biasanya saya campurkan sedikit kemiri dalam santan sebelum dimasukkan ke dalam bambu lemang yang sudah diisi beras pulut,” akunya.
Hasilnya lemang yang dibuat Efri terasa sangat gurih, lembut dan berpadu santan dengan beras pulutnya. Sebab ada juga lemang yang santan dan pulutnya tidak menyatu. Alhasil, rasanya kurang lezat.
Membuat lemang tidak bisa seorang diri. Biasanya wanita zaman dulu berembuk sekeluarga untuk membuat lemang bersama. Minimal dikerjakan tiga atau empat orang. Yang paling menguras tenaga adalah memeras kelapa dan memanggang lemang. Kelapa harus diperas secara tradisional dengan takaran air yang terukur. Adapun memanggang l emang harus dibolak-balik setiap saat supaya tidak hangus. Nah, sembari membolak-balik lemang, kayu api juga harus dibolak-balik supaya apinya tidak padam.
Lemang akan matang satu jam bahkan lebih. Lemang paling enak disantap hangat-hangat. Biasanya teman makan lemang di Kuranji, Pauh dan Kototangah adalah pisang mamban atau pisang darek. Kadang kalau musim durian, lemang juga maknyus dimakan dengan durian. Ada juga dicampur dengan tapai ketan. Tapai dari pulut hitam ini dibuat beberapa hari sebelum memasak lemang. Sebab, tapai ketan yang dibuat pakai ragi harus didiamkan beberapa hari sebelum bisa dimakan. Lemang hangar-hangat dimakan dengan durian, lezatnya tiada tara. Lemang yang gurih dan durian yang manis lumer dimulut.
Saat itu Efri membuat lemang bersama saudara sepupunya yang berdekatan rumah. ”Biasanya memang bikin lemang bersama supaya efisien. Terutama tempat pembakaran bisa dipakai bersama. Selain itu, selain malapeh taragak pada lemang juga mengeratkan hubungan sesama keluarga,” ujarnya.
Saat lemang matang, mereka tak sabaran ingin segera mencicipi. “Kadang berebutan. Tapi di situlah asyiknya,” akunya.
Lemang tersebut tidak hanya untuk dimakan bersama keluarga tapi juga untuk manjalang mintuo (mengunjungi mertua, red). Sebab di hari baik bulan baik, warga pribumi di Kuranji, Pauh, Kototangah dan lainnya juga punya tradisi manjalang mintuo. Biasanya yang dibawa manjalang saat memasuki puasa adalah lemang plus pisang atau kue tart dan tapai ketan, teman makan lemang. Kadang juga ditambah agar-agar (pudding) dan lainnya.
Manjalang mintuo keharusan bagi perempuan yang baru menikah. Tapi bagi Efri meski sudah puluhan tahun berumahtangga, tetap manjalang mintuo tiap masuk puasa maupun Lebaran. “Itu tergantung kita saja. Kalau saya tak sempat pergi, minimal anak-anak disuruh mengantar lemang ke rumah bako (keluarga ayah)-nya,” akunya.
Di era serba instan ini, di Padang pinggiran kota memang sudah berkurang warga yang malamang. Selain karena pergeseran zaman, wanita sekarang tak suka repot. Apalagi untuk memasak lemang butuh pekarangan yang agak luas. Butuh kayu api dan bambu lemang yang mulai langka. Dewasa ini rumah warga kebanyakan saling berdempetan karena lahan semakin sempit. Hanya warga yang masih punya pekarangan luas senantiasa bisa membuat lemang.
Upik, 45, warga Lubukminturun, Kecamatan Kototangah mengaku, hanya sekali setahun membuat lemang. “Kami membuatnya di rumah kakak karena rumahnya masih punya lahan kosong untuk memasak lemang,”akunya.
Rumah Upik berada dekat kompleks perumhaan yang dibangun developer sejak tahun 2000-an.
Samping rumahnya biasa tempat memasak lemang kini sudah bersebelahan dengan kompleks perumahan itu. “Tak mungkin masak lemang di sini karena asapnya bisa mengganggu warga kompleks,” ujarnya. (yan)
Posting Komentar