Agustus 2025

 
Tren: Suasana Basko City Mal Padang cukup ramai pengunjung beberapa waktu lalu.
 

Suatu hari di akhir pekan, rombongan ibu-ibu memasuki sebuah mal baru di Padang. Berdandan bak anak muda. Pun, kelakuannya. Ceria dan ketawa-ketiwi sembari bercanda layaknya remaja. Tujuan pertama mereka, gerai pakaian. Lihat-lihat model, lalu tengok label harga. Dahi berkerut. Tak lama keluar dengan wajah cemberut.
Lanjut ke toko kosmetik. Muka ceria melihat aneka barang yang dipajang. Apalagi ada tester lipstik. Coba beberapa warna sembari senyum-senyum di cermin. Setelah liat harga diam saja.  “Ah, gak jadi beli, mahal,” ucap salah satu dari mereka, pelan.  Terus ke rak parfum. Lagi cobain tester. Pilih yang paling mahal, biar awet wanginya. “Harga kurang cocok di kantong kita,” bisik yang lain.
 
Setelah sekadar nanya-nanya ke pramuniaga yang cantik, wangi dan ramah, lantas ngeloyor keluar. Masih mengitari sampai ke lantai III mal. Apa saja yang ada di sana. Setelah penat, istirahat sebentar di bangku-bangku yang disediakan pengelola mal di beberapa spot. Belanja juga akhirnya. Tapi hanya 1 cup minuman untuk melepas dahaga. Itu pun pilih harga yang paling murah. Ya, begitulah “gaya hidup” kalangan menengah ke bawah.  Mereka hanya jalan-jalan saja ke mal sembari cuci mata dan lihat-lihat harga barang. Bosan di rumah terus. Walau tak punya uang tetap butuh hiburan dan kumpul sama teman.
 
Beranjak ke food court mal di bagian depan. Ternyata ramai. Hampir semua gerai kuliner kekinian tempat duduknya penuh. Walau harga di sini standar mal, ternyata tetap diminati. Mungkin mereka kalangan menengah ke atas. Uang jajan anaknya Rp 50 ribu ke atas sehari. Sehingga bisa nongkrong di resto mal berkelas. Terlihat juga rombongan keluarga, sosialita dan pekerja kantoran. Lahap menyantap makanan dan menyeruput minuman. Seperti tak ada beban.
Riri Rahmi, 40, perantau Minang di Jakarta menyempatkan diri menjajal mal di kampung halaman bersama suami dan anaknya. Kalau di Jakarta hampir tiap weekend keluarga kecilnya refresing ke mal sekalian kulineran. Mereka terbiasa makan di food court mal seperti warga Jakarta lainnya. “Kalau untuk belanja baju dan lainnya mending beli online, lebih murah,” ucapnya.                  
 
General Manager Basko City Mall, Robi Wiryawan mengatakan,  tren kunjungan ke mal memang dominan untuk makan, yakni 30 persen. Lalu, sebesar 25 persen cuci mata, 25 persen main bersama keluarga, dan hanya 20 persen yang belanja.  
Tren ke mal akhir-akhir ini sedikit bergeser. Tidak lagi untuk shopping. Tapi lebih untuk cuci mata, cek harga dan nanya-nanya saja. Sehingga muncul istilah Rojali (rombongan jarang beli dan Rohana (rombongan hanya nanya). Mal dijadikan tempat untuk rekreasi, melepas penat sembari cuci mata. Mal berfungsi untuk bersosialisasi, berinteraksi dan mencari kebahagiaan sesaat. Baik bersama teman maupun keluarga.
 
Rojali cenderung hanya berjalan-jalan, menikmati suasana, atau sekadar nongkrong, sedangkan Rohana lebih banyak bertanya-tanya tentang harga atau produk tapi akhirnya tidak jadi membeli. Fenomena ini mencerminkan tren perubahan perilaku konsumen di tengah tantangan ekonomi. Di kota-kota besar yang kekurangan taman kota, perpustakaan publik, atau pusat komunitas, mal mengisi kekosongan ini. Mal memiliki atribut yang sangat dibutuhkan: tempat yang aman, bersih, ber-AC, bebas polusi, dan dapat diakses kapan saja, tanpa biaya masuk.
 
Mal-mal di Jakarta dan kota besar lainnya sudah terbiasa dengan fenomena ini. Sejak ekonomi lesu, daya beli masyarakat juga jadi lesu. Untuk belanja fashion orang jadi mikir dua kali. Kalau tidak mendesak mengerem dulu untuk beli baju atau sepatu. Lebih baik uangnya ditabung. Menahan berfoya-foya di tengah kondisi ekonomi tidak menentu.
Pengelola mal pun sepertinya memahami kondisi. Tetap menyediakan fasilitas nyaman dan tempat duduk agar mal tetap ramai. Termasuk spot hiburan yang bisa diisi band-band lokal. Harus mengubah konsep mal sesuai perubahan gaya hidup dan kondisi kekikian.
Sedangkan penyewa gerai atau toko di mal menjadikan toko offline untuk memajang barang fisik. Mereka juga jualan online di marketplace agar tetap eksis.
 
Hanya saja, jika kondisi ini terus berlanjut karena banyak rojali dan rohana menandakan ekonomi tak bangkit-bangkit. Kesenjangan makin menganga. Yang kaya saja leluasa belanja. Si miskin bisa menelan ludah saja.
Harusnya pemerintah lebih arif dan bijaksana menyikapi kondisi yang ada.
Mereka yang berpenghasilan rendah umumnya bekerja di sektor informal, buruh dan pekerja swasta. Gaji hanya cukup buat makan. Kenaikan harga barang dan jasa makin membuat mereka tak berdaya. Wajar buruh demo menuntutkesejahteraan. Jangankan sejahtera, lepas dari segala pajak saja sudah lega rasanya. Sementara, DPR malah menaikkan gaji seenaknya. Pajak naik gila-gilaan pula. Di mana hati nurani mereka? (yan)
 
 
 
 

 

Jembatan Siti Nurbaya menghubungkan kawasan wisata Kota Tua dengan wisata Gunung Padang dan Pantai Airmanis di Padang, Sumbar.


Apa jadinya jika Siti Nurbaya, Syamsul Bahri dan Malinkundang bertemu di suatu tempat? Pasti seru kan?

Sayangnya ini bukan di cerita film, teater atau sinetron yang bisa ditonton. Namun objek yang bisa dilihat diraba dan dinikmati berupa objek wisata.

Memang, batu Malinkundang sudah ada sejak dulu kala. Makan Siti Nurbaya di Bukit Gunung Padang juga telah ada sejak lama. Syamsul Bahri dengan kapalnya baru muncul belakangan. Kapal berisi patung Syamsul Bahri “terdampar” di tepi Sungai Batang Arau tak jauh dari makan dan jembatan Siti Nurbaya. Wisata di Padang sarat dengan cerita legenda. Seakan nyata adanya.

Tak hendak menghidupkan tokoh fiktif yang tak pernah ada. Pembangunan objek ini tak lain untuk mengundang daya tarik wisatawan ke Kota Padang.

Seperti legenda Batu Malinkundang di Pantai Airmanis. Meski sudah ada sejak puluhan tahun, namun sampai kini masih tetap mengundang rasa penasaran pengunjung dari penjuru nusantara bahkan dunia. Pengunjung penasaran melihat replika kapal tokoh cerita Malikundang yang durhaka terdampar di Pantai Airmanis tersebut. Alhasil, tiap liburan sekolah maupun libur Lebaran objek ini dibanjiri pengunjung.

Malinkundang memang lebih beruntung dibanding Siti Nurbaya. Meski durhaka, namun banyak dikunjungi orang. Mungkin didukung keindahan pantainya. Lain dengan makan Siti Nurbaya yang dipagut sepi di lereng Gunung Padang yang lumayan terjal untuk didaki. Tapi, Pemko Padang terus mempercantik objek wisata Gunung Padang. Di puncaknya ada tulisan raksasa Padang Kota Tercinta yang bisa digapai pengunjung. Ikon Kota Padang ini terlihat nyata dari Pantai Padang, objek andalan Kota Padang. Alhasil, Siti Niurbaya tak lagi merasa kesepian karena tiap hari libur selalu ramai pengunjung.

Siti juga bisa  berdampingan dengan Syamsul Bahri, kekasih yang tak bisa diraih karena taktik jahat Datuk Maringgih. Itu di dalam cerita romannya. Kisah nyatanya, Pemko Padang membangun patung tokoh Syamsul Bahri di tepi Sungai Batang Arau seakan memainkan imajinasi pengunjung. Kabar baiknya, ketiga objek ini bisa dikunjungi dalam satu kali jalan saja. Ini sejak adanya jembatan Siti Nurbaya berlanjut dengan jalan membelah bukit dari Gunung Padang ke Pantai Airmanis, tempat Batu Malinkundang bersemayam. Mimpi Pemko Padang mewujudkan kawasan wisata terpadu (KWT) Gunung Padang, Pantai Airmanis sudah nyata. Tak lagi sebatas mimpi yang mengundang cemeeh orang-orang.

Sejak selesainya jalan pintas dari Muara ke Pantai Airmanis tersebut, jalur itu juga dijadikan jogging track warga Padang. Tiap Minggu pagi ramai, orang jalan santai maupun gowes menempuh rute ini. Di sepanjang jalan banyak berdiri kafe-kafe tempat nongkrong, kulineran sambil memandang ke laut lepas. Kalau sore  bisa menyaksikan sunset. Di sana juga ada

Letak jalan yang berada di lereng bukit sangat sejuk dan udaranya bersih. Satu sisi bukit sisi lain pemandangan laut yang indah dengan sejumlah pulau kecil di perairan Padang. Gemercik suara air mengalir di sela-sela tebing jatuh ke parit memberi keindahan tersendiri. Airnya sejuk dan bersih. Berada di pinggang bukit, sinar mentari juga lama muncul di sini. Meski hampir pukul sembilan pagi, sinar matahari belum menyengat. Sehingga warga betah berlama-lama jogging.

Dari Muaro jalan juga bisa tembus ke Pelabuhan Teluk Bayur. Jalan ini kian menantang untuk jogging dan gowes karena juga memiliki pendakian dan penurunan yang cukup tajam. View laut yang indah. Wow!

Sejak jalan ini dibuka, ekonomi masyarakat di sana juga hidup. Ditandai kedai-kedai kecil yang tumbuh bak cendawan di musim hujan di sisi jalan. Mereka umumnya menjual menu sarapan dan aneka minuman. Harga menu yang ditawarkan relatif terjangkau meski belum ada standar harga seperti di kawasan Pantai Padang.

Sherly, salah satu warga Padang yang sudah lama merantau ke Jakarta begitu takjub saat menjajal destinasi wisata ini. “Wow! Gak ngangka ya, Padang seindah ini pariwisatanya,” ucapnya berdecak kagum.

Yanti, warga yang tinggal dekat Jembatan Siti Nurbaya merasa beruntung berdomisili di sana. Karena ramai warga sekitar bisa berjualan dan buka warung di pinggir jalan.  “Ramai sekarang, apalagi hari libur,” akunya. Apalagi waktu momen HUT ke-356 Kota Padang 7 Agustus 2025 lalu dipusatkan dekat Jembatan  Siti Nurbaya dan Kota Tua, kawasan tersebut jadi hidup dan gemerlap.  (yan)


 

Bersejarah: Gedung Memoribilia Muaro Padang atau gedung Bank Indonesia peninggalan zaman Belanda yang dijadikan museum oleh Bank Indonesia Sumbar.


Kawasan Muaro Padang banyak menyimpan sejarah di zaman penjajahan. Bisa disaksikan dari jejak-jejak bersejarah berupa bangunan-bangunan tua peninggalan zaman Belanda. Dikenal dengan Kota Tuanya Padang. Di antara bangunan tua tersebut masih ada yang memakai bahasa Belanda. Salah satunya De Javasche Bank (DJV). Didirikan oleh pemerintah kolonial tahun 1925. Kemudian tahun 1957 dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia. Gedung BI pertama di luar Jawa. Pertanda ekonomi Sumbar sudah maju pada masa itu sehingga perlu didirikan Bank Indonesia.

Kawasan Muaro pada masa itu adalah pusat perdagangan di Kota Padang atau Sumbar. Sebelum ada Pelabuhan Teluk Bayur, Pelabuhan Muara andalan bagi Padang untuk terkoneksi dengan dunia luar. Pelabuhan ini menjadi pusat kegiatan ekspor-impor dan pelayaran, serta menjadi penghubung dengan pulau-pulau di sekitarnya. Di sini tedapat gudang beragam komoditas seperti emas, batu bara, teh, kopi, kapur barus, garam dan kemenyan. Perdagangan dan ekonomi bergeliat di kawasan itu sehingga perlu Bank Indonesia dibangun di kawasan itu.

Di zaman kemerdekaan, sesuai perkembangan ekonomi Sumbar, gedung Bank Indonesia Sumbar dibangun di Jalan Sudirman. Kawasan elite Kota Padang. Lebih besar dan megah. Bank Indonesia Muaro masih tetap difungsikan untuk pendukung kegiatan BI pusat.   

Lalu pada 24 Februari 2024 gedung BI Muaro disulap menjadi museum diberi nama Gedung Memoribilia semasa BI Sumbar dipimpin Endang Kurnia Saputra sebagai Kepala Perwakilan BI Sumbar di masa itu.

Gedung Memorabilia ini bisa dimanfaatkan pelajar, mahasiswa hingga masyarakat umum sebagai sarana edukasi dan literasi seputar sejarah pitih (uang), perbankan dan perekonomian Sumbar dari masa kolonial sampai kemerdekaan.

Bank Indonesia Muaro telah ditetapkan oleh pemerintah jadi cagar budaya. Sehingga dilarang mengutak-atik atau mengubah bangunannya.

Ini adalah situs sejarah. BI Sumbar hanya merenovasi koleksi di dalamnya. Di Memorabilia ini ditampilkan sejarah pengedaran uang di Sumbar dan kemajuan Sumatera Barat di masa lalu.

Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sumatera Barat Dandy Indarto Seno mengatakan, kunjungan ke Gedung Memorabilia dibatasi 50 orang per hari.

“Pembatasan untuk memudahkan koordinasi saat memandu pengunjung, jadi bisa dari masyarakat, mahasiswa, ataupun siswa SD sampai SMA secara berkelompok mengajukan permohonan kunjungan. Untuk masuk gedung, tidak dipungut biaya alias gratis,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Bagi pengunjung yang akan berkunjung harus mengajukan surat dulu ke Bank Indonesia untuk memudahkan pengaturan waktu kunjungannya.

Dandy menerangkan, Gedung Memorabilia BI Muaro tersebut menyimpan ragam sejarah terutama yang berkaitan dengan uang, perekonomian dan moneter.

Termasuk peralatan kantor yang digunakan, koleksi uang dari masa ke masa serta duplikasi emas cadangan devisa dan sebagainya.

Di bagian bawah gedung tersebut ada lemari besi besar yang luas, dulu digunakan untuk penyimpanan uang. Juga ada emas moneter. (yan)

 

Meriah: Pawai dalam rangka memeriahkan HUT ke-80 RI diadakan salah satu sekolah di Pasie Nantigo Kecamatan Kototangah, Padang, Sumbar Minggu (17/8).
 

Beritaone, Padang—Perayaan Hari Kemerdekaan ke-80 tanggal 17 Agustus 2025 penuh euforia. Rakyat Indonesia larut dalam kegembiraan. Berbagai kegiatan dan lomba diadakan untuk memeriahkan hari kemerdekaan.

Dari kota sampai ke desa-desa masyarakat menggelar beragam acara dan lomba. Mulai panjat pinang, pacu karung, makan kerupuk, lomba joget, jalan santai dan lain banyak lagi. Masyarakat bahu membahu dan semua terlihat dalam setiap kegiatan. Tak perlu imbauan. Rasa nasionalisme dan persaudaraan yang mendorong masyarakat ikut serta dalam setiap kegiatan. Tak ada anggaran dari pemerintah. Mereka beriuran secara sukarela untuk membiyai kegiatan.

Deviani, 35, warga Kalumbuk Kecamatan Kuranji Padang, Sumbar ikut beragam perlombaan yang diadakan di RT tempat tinggalnya. “Kemarin (17/8) ada acara lomba makan kerupuk dan pacu karung, kemudian Senin jalan sehat. Saya ikuti beberapa lomba dan kegiatan. Seru-seru saja. Penuh gelak tawa saat kumpul sama tetangga dan warga sekitar,” ujarnya. Ibu dua anak ini mengaku saat jalan santai hak sepatunya sampai lepas. Terpaksa beli sandal jepit untuk meneruskan perjalanan. Deviani bahkan libur jualan demi ikut perayaan HUT kemerdekaan. “Ndak apa libur sehari, “merdeka” dulu berjualan demi nasionalisme dan kebersamaan,” ucapnya.

Lain lagi, Asri, warga Pasie Nantigo Kecamatan Kototangah Padang. Minggu anaknya yang masih SD ikut pawai di sekolahnya. Tiap anak diharuskan pakai busana daerah. “Di sini serunya, mendandani anak hingga menemani jalan kaki ikut pawai bersama ibu-ibu lain,” ujarnya. Selain itu, ia sekeluarga juga ikut sejumlah lomba yang diadakan pemuda setempat. “Ada lomba joget dan game. Pokoknya seru. Apalagi kalau dapat hadiah. Walau berupa kotak makanan tapi rasanya senang sekali,” tuturnya.

Namun ada juga yang sedih tak bisa terlibat dalam berbagai perlombaan karena harus masuk kerja Senin (18/8). “Di RT saya menggelar lomba pas hari Senin, sayang sekali gak bisa ikut karena harus masuk kerja,” ujar Nengsih, warga Lubukbuaya Padang.

Menariknya, di momen HUT RI ke-80 ini, masyarakat sangat semangat merayakannya. Bukti rasa nasionalisme hidup dalam hati dan sanubari setiap warga negara. Mereka melupakan sejenak beragam persoalan pelik yang menghimpit akhir-akhir ini. Ada tak ada uang tetap rela iuran untuk lomba. Kental jiwa gotong royong dan kebersamaan. Nasionalisme tak mengenal kasta. Merah putih mempersatukan semua anak bangsa. Merdeka!! (yan)

 

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
IKLAN